Kue Pundut Nasi, Semakin Langka Semakin Diburu Penggemar


Entah karena apa makanan tradisional khas Kalimantan yang satu ini keberadaannya di kota Sampit semakin jarang terlihat, namun jika ada yang meproduksinya maka akan banyak diserbu warga. Ini kue pundut nasi namanya, di era tahun 90-an ke bawah merupakan jajanan umum di setiap pedagang kuliner.
Seiring dengan semakin berkembangnya dunia kuliner, sebagian penganan tradisional semakin terpinggirkan, dan hanya beberapa jenis saja yang masih bertahan di warung-warung tertentu pula.
Kue pundut nasi adalah salah satu kuliner “masa lampau” yang mampu bertahan hingga saat ini kendati produksinya jauh berkurang. Sebagian produsen masa lalu mungkin kurang intens melakukan regenerasi penerus pembuat kue jenis ini. Dengan anggapan generasi “z” lebih mempercayai prospek kuliner milenial lebih menjanjikan dari sisi komersial.
Praktis kuliner jadul ini seperti menjadi barang antik. Dimusnahkan sayang karena menyangkut tradisi leluhur, di sisi lain produsen pun ragu apakah produk “kuno” yang satu ini mampu bersaing dengan jajanan “penghujung” zaman seperti seblak, ayam geprek, donat, cimol, maklor, dan Inol Darastitol,wkwkwk.
Tapi fakta yang terjadi sekarang sungguh di luar dugaan. Ketika sejumlah warga dengan beraninya memproduksi kue pundut nasi dengan serius dan diselingi inovasi kecil-kecilan, ternyata penjualan kuliner yang satu ini meledak!
Sejumlah pedagang mengaku ternyata dari sisi penjualan penganan yang satu ini masih bisa diandalkan kendati trend nya sempat dianggap memudar seiring berjalannya waktu.
“Ternyata setelah diproduksi masih banyak peminatnya, dan kami akan terus membuatnya karena warga banyak yang suka,” kata Murni, salah seorang pedagang kue pundut nasi di Kawasan taman kota Sampit.
Kuliner perpaduan beras, santan dan sambal masak merah berbungkus daun pisang itu ternyata banyak diserbu penggemar kuliner. “Apalagi kami juga berinovasi dengan menyisipkan telor rebus di dalamnya dengan harga jual yang berbeda pula dari nasi pundut ala masa lalu,” katanya.
Saat ini penjualan kuliner ini mulai terlihat makin banyak di sejumlah sudut kota Sampit, namun potensi komersialnya tergantung skill peramuannya juga, enak di lidah atau malah membuat bengkak lidah. Tergantung dari keahlian masing-masing. Yang jelas ada rasa Syukur juga ternyata masih banyak warga Sampit yang terus berupaya melestarikan kuliner peninggalan “leluhur” namun dibarengi inovasi penyesuaian dengan kondisi zaman. (nafiri rakhmatullah)