3 Organisasi Mahasiswa Soroti Ketidaktransparanan Program Beasiswa Gerbang Mentaya


KaltengBersuara.com, Sampit — Tiga organisasi kemahasiswaan, yakni Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, dan Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, merilis hasil kajian bersama terhadap pelaksanaan Program Beasiswa Gerbang Mentaya yang digagas Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur.
Program ini sejatinya bertujuan mulia: meningkatkan kualitas sumber daya manusia daerah melalui bantuan pendidikan. Namun, hasil kajian menemukan sejumlah permasalahan yang dinilai mencerminkan belum terlaksananya prinsip Good Governance di tubuh pemerintah daerah.
Ketua PC KMHDI Kotawaringin Timur, Bayu Samudra, menyampaikan bahwa hasil kajian bersama yang dilakukan oleh tiga organisasi mahasiswa ini merupakan bentuk kepedulian terhadap tata kelola pemerintahan daerah, khususnya dalam pelaksanaan Program Beasiswa Gerbang Mentaya yang seharusnya menjadi simbol keberpihakan pemerintah terhadap kemajuan pendidikan. Menurutnya, niat baik pemerintah perlu diiringi dengan praktik yang transparan, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip Good Governance agar kepercayaan publik tidak luntur.
Program Beasiswa Gerbang Mentaya dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,7 miliar seharusnya dikelola secara terbuka dan profesional. Namun, dari hasil kajian ditemukan bahwa realisasi anggarannya hanya sekitar Rp1,34 miliar, meninggalkan selisih lebih dari Rp350 juta yang belum dijelaskan secara publik. Hal ini menjadi penting untuk diklarifikasi agar masyarakat memahami dengan jelas ke mana arah penggunaan dana tersebut.
Ia menambahkan, keterbukaan informasi publik bukan hanya kewajiban administratif, melainkan bentuk tanggung jawab moral pemerintah terhadap rakyatnya. Terlebih, dokumen Keputusan Bupati yang memuat daftar penerima beasiswa hingga kini belum dapat diakses melalui laman resmi JDIH Pemkab Kotim, yang seharusnya menjadi sarana publik untuk memantau kebijakan daerah.
“Kami tidak menolak program beasiswa ini — justru kami mendukung sepenuhnya. Tapi dukungan itu harus disertai dengan komitmen bersama untuk menjaga integritas pelaksanaannya. Jangan sampai program yang seharusnya membantu mahasiswa justru menimbulkan pertanyaan karena minimnya transparansi,” lanjut Bayu.
Ia juga menegaskan bahwa langkah yang diambil oleh HMI, GMKI, dan KMHDI ini bukan bentuk konfrontasi politik, melainkan bentuk fungsi kontrol sosial yang dijalankan mahasiswa. Mahasiswa, menurutnya, memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan setiap kebijakan publik berjalan sesuai asas transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
“Kritik yang kami sampaikan lahir dari rasa cinta terhadap daerah ini. Kami ingin memastikan bahwa setiap program yang dijalankan pemerintah benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang siap menerima kritik, karena dari sanalah kepercayaan dan partisipasi publik akan tumbuh,” tutup Bayu Samudra.
Ketiga organisasi tersebut berharap hasil kajian ini menjadi bahan evaluasi Pemkab Kotim agar program beasiswa di tahun berikutnya dapat dijalankan lebih terbuka, partisipatif, dan sesuai dengan prinsip Good Governance.
Sementara Ketua umum HMI Cabang Sampit, Muhammad Rizqi Rachmandani, menegaskan bahwa temuan ini bukanlah bentuk penolakan terhadap program beasiswa, melainkan dorongan moral agar pemerintah lebih transparan dan akuntabel. “Kami tidak sedang menolak programnya, justru kami ingin memastikan bahwa niat baik pemerintah dijalankan dengan cara yang benar. Asas keterbukaan dan kepastian hukum dalam AUPB harus ditegakkan agar masyarakat percaya pada prosesnya,” ujar Ketua Umum HMI Cabang Sampit.
Di sisi lain ketua GMKI komisariat Politeknik Sampit, David Kindangen mendesak Pemkab Kotim untuk segera memublikasikan Surat Keputusan Bupati yang menjadi dasar penerima beasiswa. Kegagalan memublikasikan dokumen ini adalah pelanggaran nyata terhadap Asas Keterbukaan (AUPB) dan merusak prinsip good governance.
“Pemkab Kotim harus taat pada supremasi hukum. Transparansi bukan pilihan, melainkan kewajiban untuk menjamin akuntabilitas anggaran dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.” (redaksi)